Materi Ilmu : SEMANGAT Belajar, MENGAMALKAN dan MENYAMPAIKAN ILMU
SEMANGAT Belajar, MENGAMALKAN dan MENYAMPAIKAN ILMU
a. Muhasabah
|
Pada masa sekarang sekolah seakan-akan tempat mencari
nilai tapi bukan mencari ilmu. Begitulah
umumnya motivasi anak ketika sekolah dan menancap betul di dalam hati. Hal ini menjadi orientasi dan tujuan dalam perjalanan pendidikan pelajar sekarang. Padahal
harus disadari jika nilai bukanlah segalanya. Ketika masuk SMA, pada umumnya
yang tergambar dalam pikiran pelajar adalah bagaimana harus mendapat nilai
bagus dengan grafik yang meningkat secara konsisten, bukannya menurun. Pelajar
dituntut SEMANGAT Belajar, MENGAMALKAN dan MENYAMPAIKAN ILMUuntuk belajar demi mendapat nilai yang baik, jika hasil tidak sesuai
maka rasa menyesal bahkan putus asa menyelimuti.
Jika seseorang belajar hanya
berorientasi pada nilai, akan tetapi yang diperoleh bukan nilai yang baik, sehingga dia merasa tidak
tahu apa yang telah pelajari, semua seperti biasa saja, setelah ulangan atau
ujian semuanya serasa hilang. Hal ini berarti ilmu itu hilang dan rasanya tidak
ada lagi yang tersisa. Namun jika orientasi belajar adalah ilmu maka kehidupan
pelajar menjadi lebih bermakna, dia selalu merasakan kepuasan setiap selesai belajar, dan tanpa di kejar pun nilai
meningkat fantastis.
Sesungguhnya ketulusan niat dan
kesabaran dalam melakukan segala kegiatan sangat diperlukan, bukan hanya untuk
mengejar sesuatu. Seseorang akan rela belajar hingga pagi, hanya untuk mengejar
kepuasan belajar, kenikmatan belajar akan di peroleh. Berbeda sekali ketika
belajar hanya untuk mengejar nilai, sangat susah bagi seseorang untuk belajar
hingga tengah malam, susah untuk memfokuskan diri. Jadi intinya, kita harus
melakukan sesuatu dengan tulus dan tanpa mengharapkan imbalan, atau jangan
hanya meminta atau mengharapkan imbalan dari apa yang kita kerjakan, semuanya
itu akan berjalan beriringan sesuai dengan yang kita kerjakan.
b. Tuntunan Menuntut Ilmu
|
1.
Pengertian
Kata ilmu dalam bahasa Indonesia berasal
dari kata al-‘ilmu dalam bahasa Arab. Secara bahasa (etimologi) kata al-‘ilmu
adalah bentuk masdar atau kata sifat dari kata `alima – ya`lamu- `ilman. Dijelaskan
bahwa lawan kata dari al-‘ilmu adalah al-jahl (bodoh/tidak tahu).
Sehingga jika dikatakan alimtu
asy-syai’a berarti “saya mengetahui sesuatu”.
Sementara secara istilah (terminologi)
ilmu berarti pemahaman tentang hakikat sesuatu. Ia juga merupakan pengetahuan tentang sesuatu yang
diketahui dari dzat (esensi), sifat dan makna sebagaimana adanya. Dalam kitab Tafsir Aisar
at-Tafaasir dijelaskan bahwa:
Artinya : “Ilmu
itu adalah jalan menuju rasa takut kepada Allah, barang siapa yang tidak
mengenal Allah, maka dia tidak mempunyai rasa takut pada-Nya. Sesungguhnya yang takut
kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama”
2.
Semangat Menuntut Ilmu
Umat Islam wajib
menuntut ilmu yang selalu dibutuhkan setiap saat. Ia wajib shalat, berarti
wajib pula mengetahui ilmu mengenai shalat. Diwajibkan puasa, zakat, haji dan
sebagainya, berarti wajib pula mengetahui ilmu yang berkaitan dengan hal
tersebut, sehingga apa yang dilakukannya mempunyai dasar. Dengan ilmu berarti
manusia mengetahui mana yang harus dilakukan mana yang tidak boleh dilakukan.
Demikian juga dalam hidup kemasyarakatan, interaksi antar sesama manusia juga
harus di dasari dengan ilmu, sehingga tercipta suatu masyarakat yang kondusif
dan damai. Allah berfirman dalam Al Qur’an surat At Taubah ayat 122 :
Artinya : “Dan tidak sepatutnya
orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari
setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan
agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya”. (QS. At Taubah
: 122)
Ayat di atas memberikan pemahaman kepada kita
bahwa sebagai orang beriman; semangat, tenaga dan pikiran tidak dibenarkan
hanya untuk usaha memenuhi kepuasan nyata seperti perang. Akan tetapi semangat, tenaga
dan pikiran juga untuk usaha menuntut ilmu terutama pengetahuan agama untuk kemanfaatan diri sendiri dan orang
lain. Ilmu merupakan penuntun manusia memahami ayat-ayat Allah baik Qauliyah
maupun Kauniyah sehingga mampu mamaknai hakekat hidup dan akhirnya memperoleh
keselamatan dunia dan akhirat.
Dalam menuntut
ilmu hendaklah tetap tabah dan sabar dalam menghadapi berbagai macam bahaya dan
ujian mental yang muncul. Sebab gudang kesuksesan adalah di dalam menghadapi
cobaan. Maka siapa yang ingin berhasil maksud dan tujuan menuntut ilmu harus
bersabar menghadapi banyaknya cobaan. Syeh Az-Zarnuji dalam
kitab Ta’limul Muta’allim mangatakan, pernah kudengar sya’ir
yang konon merupakan gubahan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu
wajhah :
Artinya :
·
Ingatlah, kamu tidak akan memperoleh
ilmu pengetahuan kecuali dengan enam perkara ; yang akan kujelaskan semua
kepadamu secara ringkas.
·
Yaitu : kecerdasan, minat yang besar,
kesabaran, bekal yang cukup, petunjuk guru, dan waktu yang lama.
3.
Patuh kepada Orang Tua dan Guru
Selain syarat tersebut di atas kunci kesuksesan dalam ilmu adalah patuh
kepada orang tua dan guru, yaitu menghormati mereka baik ketika masih hidup
maupun sudah meninggal. Kita harus bersikap sopan dan santun kepada orang tua
dan guru baik dalam ucapan maupun perbuatan, selalu mendoakan mereka jika sudah
meninggal minimal setiap setelah shalat.
Orang yang paling dekat dan berjasa kepada kita
adalah kedua orang tua. Merekalah yang membawa kita ke dunia ini dengan izin
Allah. Betapa besar jasa mereka sehingga kita tidak akan mampu menghitung dan
membalasnya. Oleh karena itu,
sudah sepatutnya kita harus berbakti kepada kedua orang tua. Allah menempatkan
kewajiban berbakti kepada orang tua pada peringkat kedua setelah kewajiban
menyembah Allah swt. Firman Allah swt dalam Al Qur’an
surat Al Isra’ ayat 23 :
Artinya: Dan Tuhanmu
telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"
dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia. (QS. Al Isra’ : 23)
Begitu besarnya jasa orang tua kita
sehingga keridlaan dan kemurkaan Allah tergantung pada keridlaan dan kemurkaan
keduanya. Rasulullah saw bersabda:
Artinya:”Keridaan Allah tergantung pada keridaan orang
tua dan kemurkaan Allah tergantung pula pada kemurkaan keduanya.” (HR.
Tabrani).
Guru
adalah orang yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu kepada kita. Dalam paradigma Jawa, guru bermakna “digugu
dan ditiru”. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru memiliki seperangkat ilmu
yang memadai, yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam
melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru
(diikuti) karena guru memiliki kepribadian yang utuh, yang karenanya segala
tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri teladan oleh peserta
didiknya. Pengertian ini diasumsikan bahwa tugas guru tidak sekedar
transformasi ilmu, tapi juga bagaimana ia mampu menginternalisasikan ilmunya
pada peserta didiknya.
Guru
yang menjadikan kita orang beriman, mengerti hal yang baik dan buruk, gura juga
menjadikan kita orang yang pandai dan memahami ilmu pengetahuan, sehingga kita
akan memperoleh kedudukan yang tinggi di hadapan Allah dan manusia sebagaimana
firman Allah swt:
Artinya: ”Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa
derajat.” (Q.S. Al-Mujahadah:11)
Di
samping itu, para penuntut ilmu dijanjikan oleh Rasulullah saw. akan diberikan
kemudahan jalan ke surga. Perhatikan hadits di bawah ini:
مَنْ
سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا اِلَى
الْجَنَّةِ ـ رواه مسلم
Artinya: “Barang siapa menempuh suatu jalan untuk
menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR.
Muslim).
c. Teladan Mencari
Ilmu
|
Para Ilmuwan atau Ulama dahulu, dalam proses menuntut ilmu memiliki
semangat yang kuat sehingga menjadi sosok ilmuwan yang di akui dan memberikan
kemaslahatan sampai sekarang. Semangat tersebut patut menjadi teladan bagi kita
dalam semangat mencari ilmu. Berikut ini beberapa
kisah menakjubkan tentang kesungguhan para Ulama dalam menuntut ilmu :
1)
Kesabaran dan Kesungguhan Menuntut Ilmu
Ibnu Thahir al-Maqdisy berkata : ”Aku dua kali kencing
darah dalam menuntut ilmu hadits, sekali di Baghdad dan sekali di Mekkah. Aku
berjalan bertelanjang kaki di panas terik matahari dan tidak berkendaraan dalam
menuntut ilmu hadits sambil memanggul kitab-kitab di punggungku”.
2)
Belajar Setiap Hari
Al-Imam
an Nawawy setiap hari membaca 12 jenis ilmu yang berbeda (Fiqh, Hadits, Tafsir,
dsb..)
3)
Membaca
Kitab Sebagai Pengusir Kantuk
Ibnul Jahm membaca kitab jika beliau mengantuk, pada saat
yang bukan semestinya. sehingga beliau bisa segar kembali.
4)
Berusaha Mendapatkan Faidah Ilmu Meski Di Kamar
Mandi
Majduddin Ibn Taimiyyah (Kakek Syaikhul Islam Ibn
Taimiyyah) jika akan masuk kamar mandi berkata kepada orang yang ada di
sekitarnya: “Bacalah kitab ini dengan suara keras agar aku bisa mendengarnya di
kamar mandi”.
5)
Kemampuan
Membaca Yang Luar Biasa
Ibnul Jauzy sepanjang hidupnya telah membaca lebih
dari 20.000 jilid kitab.
Al-Khothib al-Baghdady membaca Shahih al-Bukhari dalam 3
majelis ( 3 malam), setiap malam mulai ba’da Maghrib hingga Subuh (jeda sholat)
Catatan : Shahih alBukhari terdiri dari
7008 hadits, sehingga rata-rata dalam satu kali majelis (satu malam) dibaca
2336 hadits.
Abdullah bin Sa’id bin Lubbaj al-Umawy
dibacakan kepada beliau Shahih Muslim selama seminggu dalam sehari 2 kali
pertemuan (pagi dan sore) di masjid Qurtubah Andalus setelah beliau pulang dari
Makkah.
6)
Mengulang
Membaca Suatu Kitab Hingga Berkali-Kali
Al-Muzani berkata: ”Aku telah membaca kitab arRisalah (karya
asy-Syafi’i) sejak 50 tahun lalu dan setiap kali aku baca aku menemukan faidah
yang tidak ditemukan sebelumnya”.
Gholib bin Abdirrahman bin Gholib al-Muhaariby telah
membaca Shahih alBukhari sebanyak 700 kali.
7)
Kesungguhan Menulis
Ismail bin Zaid dalam semalam menulis 90 kertas dengan
tulisan yang rapi.
Ahmad bin Abdid Da-im al-Maqdisiy telah menulis/menyalin
lebih dari 2000 jilid kitab-kitab. Jika senggang, dalam sehari bisa
menyelesaikan salinan 9 buku. Jika sibuk dalam sehari menyalin 2 buku.
Ibnu Thahir berkata: ”saya menyalin Shahih al-Bukhari,
Shahih Muslim, dan Sunan Abi Dawud 7 kali dengan upah, dan Sunan Ibn Majah 10
kali”.
Ibnul Jauzy dalam setahun rata-rata menyalin 50-60 jilid
buku
8)
Sangat
Bersemangat Dalam Mencatat Faidah
Al-Imam an-Nawawy berkata: “Janganlah
sekali-kali seseorang meremehkan suatu faidah (ilmu) yang ia lihat atau dengar.
Segeralah ia tulis dan sering-sering mengulang kembali”.
Al-Imam al-Bukhary dalam semalam seringkali terbangun,
menyalakan lampu, menulis apa yang teringat dalam benaknya, kemudian beranjak
akan tidur, terbangun lagi , dan seterusnya hingga 18 kali.
d. Uswah
Hasanah
|
SEMANGAT MENUNTUT ILMU DAN KEPATUHAN KEPADA ORANG TUA
KH. A. WAHID HASYIM
(MENTERI AGAMA
PERTAMA)
Sejak
kecil Abdul Wahid sudah masuk Madrasah Tebuireng dan sudah lulus pada usia yang
sangat belia, 12 tahun. Selama bersekolah, ia giat mempelajari ilmu-ilmu
kesustraan dan budaya Arab secara outodidak. Dia
juga mempunyai hobi membaca yang sangat kuat. Dalam sehari, dia membaca minimal
lima jam. Dia juga hafal banyak syair Arab yang kemudian disusun menjadi sebuah
buku.
Ketika
berusia 13 tahun, Abdul Wahid mulai melakukan pengembaraan mencari ilmu.
Awalnya ia belajar di Pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo. Di sana ia mondok mulai
awal Ramadhan hingga tanggal 25 Ramadhan (hanya 25 hari). Setelah itu pindah ke
Pesantren Lirboyo, Kediri, sebuah pesantren yang didirikan oleh KH. Abdul
Karim, teman dan sekaligus murid ayahnya. Antara umur 13 dan 15 tahun, pemuda
Wahid menjadi Santri Kelana, pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya.
Tahun 1929 dia kembali ke pesantren Tebuireng. Ketika kembali ke Tebuireng,
umurnya baru mencapai 15 tahun dan baru mengenal huruf latin. Dengan mengenal
huruf latin, semangat belajarnya semakin bertambah. Ia belajar ilmu bumi,
bahasa asing, matematika, dll. Dia juga berlangganan koran dan majalah, baik
yang berbahasa Indonesia maupun Arab. Pemuda Abdul Wahid mulai belajar Bahasa
Belanda ketika berlangganan majalah tiga bahasa, ”Sumber Pengetahuan” Bandung.
Tetapi dia hanya mengambil dua bahasa saja, yaitu Bahasa Arab dan Belanda.
Setelah itu dia mulai belajar Bahasa Inggris.
Pada
tahun 1932, ketika umurnya baru 18 tahun, Abdul Wahid pergi ke tanah suci
Mekkah bersama sepupunya, Muhammad Ilyas. Selain menjalankan ibadah haji,
mereka berdua juga memperdalam ilmu pengetahuan seperti nahwu, shorof, fiqh,
tafsir, dan hadis. Abdul Wahid menetap di tanah suci selama 2 tahun.
Sepulang
dari tanah suci, KH. Abdul Wahid (biasa
dipanggil KH. Wahid Hasyim) bukan hanya membantu ayahnya mengajar di pesantren,
tapi juga terjun ke tengah-tengah masyarakat. Ketika usianya menginjak 20-an
tahun, Kiai Wahid mulai membantu ayahnya menyusun kurikulum pesantren, menulis
surat balasan dari para ulama atas nama ayahnya dalam Bahasa Arab, mewakili
sang ayah dalam berbagai pertemuan dengan para tokoh. Bahkan ketika ayahnya
sakit, ia menggantikan membaca kitab Shahih Bukhari, yakni pengajian tahunan
yang diikuti oleh para ulama dari berbagai penjuru tanah Jawa dan Madura.
Dengan bekal keilmuan
yang cukup, pengalaman yang luas serta wawasan global yang dimilikinya, Kiai
Wahid mulai melakukan terobosan-terobosan besar di Tebuireng. Awalnya dia mengusulkan untuk merubah sistem klasikal
dengan sistem tutorial, serta memasukkan materi pelajaran umum ke pesantren. Usul
ini ditolak oleh ayahnya, karena khawatir akan menimbulkan masalah antar sesama
pimpinan pesantren. Namun pada tahun 1935, usulan Kiai Wahid tentang pendirian
Madrasah Nidzamiyah, dimana 70% kurikulumnya berisi materi pelajaran umum,
diterima oleh sang ayah.
Pada
masa setelah Indonesia merdeka, di dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden
Sukarno (September 1945), Kiai Wahid ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian
juga dalam Kabinet Sjahrir tahun 1946. Ketika KNIP dibentuk, Wahid Hasyim
menjadi salah seorang anggotanya mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota
BPKNIP tahun 1946. Setelah terjadi penyerahan kedaulatan RI dan berdirinya RIS,
dalam Kabinet Hatta tahun 1950 dia diangkat menjadi Menteri Agama. Jabatan
Menteri Agama terus dipercayakan kepadanya selama tiga kali kabinet, yakni
Kabinet Hatta, Natsir, dan Kabinet Sukiman.
Rangkuman
|
1. Menuntut ilmu
merupakan kwajiban bagi sitiap muslim, dengan ilmu seseorang akan dapat
memenuhi kebutuhan duniawi maupun ukhrawi.
2. Ilmu bisa
deperoleh hanya dengan cara dan etika yang benar serta sabar menghadapi cobaan.
3. Islam telah
memberikan tuntunan menuntun ilmu yang benar sehingga bisa bermanfaat bagi diri
sendri dan orang lain.
4. Ilmu merupakan identitas manusia yang
membedakannya dengan makhluk lain
5. Ilmu tidak bisa diperoleh dengan mudah, dibutuhkan
syarat-syarat khusus diantarangan adalah patuh kepada orang tua dan guru agar
mendapatkan ilmu yang manfaat dan barakah.
6. Orang tua dab guru harus dihormati, jika mereka
masihi hidup kita harus sopan dan santun serta tidaka mnyakiti hati mereka,
jika sudah meninggal arus kita doakan.
7. Ulama terdahulu telah mencontohkan cara-cara yang dilakukan sehingga memperoleh ilmu yang membawa manfaat bagi kita sampai sekarang.
No comments:
Post a Comment