Tuesday, January 20, 2015

Bersemangat Menuntut Ilmu Serta Mengamalkan nya Kepada Sesama


Materi Ilmu : SEMANGAT Belajar, MENGAMALKAN dan MENYAMPAIKAN ILMU

SEMANGAT Belajar, MENGAMALKAN dan MENYAMPAIKAN ILMU   
a. Muhasabah
 
 Pada masa sekarang sekolah seakan-akan tempat mencari nilai tapi bukan mencari ilmu. Begitulah umumnya motivasi anak ketika sekolah dan menancap betul di dalam hati. Hal ini menjadi orientasi dan tujuan dalam perjalanan pendidikan pelajar sekarang. Padahal harus disadari jika nilai bukanlah segalanya. Ketika masuk SMA, pada umumnya yang tergambar dalam pikiran pelajar adalah bagaimana harus mendapat nilai bagus dengan grafik yang meningkat secara konsisten, bukannya menurun. Pelajar dituntut SEMANGAT Belajar, MENGAMALKAN dan MENYAMPAIKAN ILMUuntuk belajar demi mendapat nilai yang baik, jika hasil tidak sesuai maka rasa menyesal bahkan putus asa menyelimuti.
Jika seseorang belajar hanya berorientasi pada nilai, akan tetapi yang diperoleh bukan  nilai yang baik, sehingga dia merasa tidak tahu apa yang telah pelajari, semua seperti biasa saja, setelah ulangan atau ujian semuanya serasa hilang. Hal ini berarti ilmu itu hilang dan rasanya tidak ada lagi yang tersisa. Namun jika orientasi belajar adalah ilmu maka kehidupan pelajar menjadi lebih bermakna, dia selalu merasakan kepuasan setiap  selesai belajar, dan tanpa di kejar pun nilai meningkat fantastis.
Sesungguhnya ketulusan niat dan kesabaran dalam melakukan segala kegiatan sangat diperlukan, bukan hanya untuk mengejar sesuatu. Seseorang akan rela belajar hingga pagi, hanya untuk mengejar kepuasan belajar, kenikmatan belajar akan di peroleh. Berbeda sekali ketika belajar hanya untuk mengejar nilai, sangat susah bagi seseorang untuk belajar hingga tengah malam, susah untuk memfokuskan diri. Jadi intinya, kita harus melakukan sesuatu dengan tulus dan tanpa mengharapkan imbalan, atau jangan hanya meminta atau mengharapkan imbalan dari apa yang kita kerjakan, semuanya itu akan berjalan beriringan sesuai dengan yang kita kerjakan.
 b. Tuntunan Menuntut Ilmu
 
1.        Pengertian
Kata ilmu dalam bahasa Indonesia berasal dari kata al-‘ilmu dalam bahasa Arab. Secara bahasa (etimologi) kata al-‘ilmu adalah bentuk masdar atau kata sifat dari kata `alima – ya`lamu- `ilman. Dijelaskan bahwa lawan kata dari al-‘ilmu adalah al-jahl (bodoh/tidak tahu). Sehingga jika dikatakan  alimtu asy-syai’a berarti “saya mengetahui sesuatu”. 
Sementara secara istilah (terminologi) ilmu berarti pemahaman tentang hakikat sesuatu. Ia juga merupakan pengetahuan tentang sesuatu yang diketahui dari dzat (esensi), sifat dan makna sebagaimana adanya. Dalam kitab Tafsir Aisar at-Tafaasir dijelaskan bahwa:
            Artinya : “Ilmu itu adalah jalan menuju rasa takut kepada Allah, barang siapa yang tidak mengenal Allah, maka dia tidak mempunyai rasa takut pada-Nya.  Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama”
2.        Semangat Menuntut Ilmu
Umat Islam wajib menuntut ilmu yang selalu dibutuhkan setiap saat. Ia wajib shalat, berarti wajib pula mengetahui ilmu mengenai shalat. Diwajibkan puasa, zakat, haji dan sebagainya, berarti wajib pula mengetahui ilmu yang berkaitan dengan hal tersebut, sehingga apa yang dilakukannya mempunyai dasar. Dengan ilmu berarti manusia mengetahui mana yang harus dilakukan mana yang tidak boleh dilakukan. Demikian juga dalam hidup kemasyarakatan, interaksi antar sesama manusia juga harus di dasari dengan ilmu, sehingga tercipta suatu masyarakat yang kondusif dan damai. Allah berfirman dalam Al Qur’an surat At Taubah ayat 122 :
Artinya : Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya”. (QS. At Taubah : 122)
Ayat di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa sebagai orang beriman; semangat, tenaga dan pikiran tidak dibenarkan hanya untuk usaha memenuhi kepuasan nyata seperti perang. Akan tetapi semangat, tenaga dan pikiran juga untuk usaha menuntut ilmu terutama pengetahuan agama untuk kemanfaatan diri sendiri dan orang lain. Ilmu merupakan penuntun manusia memahami ayat-ayat Allah baik Qauliyah maupun Kauniyah sehingga mampu mamaknai hakekat hidup dan akhirnya memperoleh keselamatan dunia dan akhirat.
Dalam menuntut ilmu hendaklah tetap tabah dan sabar dalam menghadapi berbagai macam bahaya dan ujian mental yang muncul. Sebab gudang kesuksesan adalah di dalam menghadapi cobaan. Maka siapa yang ingin berhasil maksud dan tujuan menuntut ilmu harus bersabar menghadapi banyaknya cobaan. Syeh Az-Zarnuji dalam kitab Ta’limul Muta’allim mangatakan, pernah kudengar sya’ir yang konon merupakan gubahan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah :
Artinya :
·         Ingatlah, kamu tidak akan memperoleh ilmu pengetahuan kecuali dengan enam perkara ; yang akan kujelaskan semua kepadamu secara ringkas.
·         Yaitu : kecerdasan, minat yang besar, kesabaran, bekal yang cukup, petunjuk guru, dan waktu yang lama.
3.        Patuh kepada Orang Tua dan Guru
Selain syarat tersebut di atas kunci kesuksesan dalam ilmu adalah patuh kepada orang tua dan guru, yaitu menghormati mereka baik ketika masih hidup maupun sudah meninggal. Kita harus bersikap sopan dan santun kepada orang tua dan guru baik dalam ucapan maupun perbuatan, selalu mendoakan mereka jika sudah meninggal minimal setiap setelah shalat.
Orang yang paling dekat dan berjasa kepada kita adalah kedua orang tua. Merekalah yang membawa kita ke dunia ini dengan izin Allah. Betapa besar jasa mereka sehingga kita tidak akan mampu menghitung dan membalasnya. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita harus berbakti kepada kedua orang tua. Allah menempatkan kewajiban berbakti kepada orang tua pada peringkat kedua setelah kewajiban menyembah Allah swt. Firman Allah swt dalam Al Qur’an surat Al Isra’ ayat 23 :
Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. Al Isra’ : 23)
Begitu besarnya jasa orang tua kita sehingga keridlaan dan kemurkaan Allah tergantung pada keridlaan dan kemurkaan keduanya. Rasulullah saw bersabda:
Artinya:”Keridaan Allah tergantung pada keridaan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung pula pada kemurkaan keduanya.” (HR. Tabrani).
Guru adalah orang yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu kepada kita.  Dalam paradigma Jawa, guru bermakna “digugu dan ditiru”. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru memiliki seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini.  Dikatakan ditiru (diikuti) karena guru memiliki kepribadian yang utuh, yang karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri teladan oleh peserta didiknya. Pengertian ini diasumsikan bahwa tugas guru tidak sekedar transformasi ilmu, tapi juga bagaimana ia mampu menginternalisasikan ilmunya pada peserta didiknya.
Guru yang menjadikan kita orang beriman, mengerti hal yang baik dan buruk, gura juga menjadikan kita orang yang pandai dan memahami ilmu pengetahuan, sehingga kita akan memperoleh kedudukan yang tinggi di hadapan Allah dan manusia sebagaimana firman Allah swt:
Artinya: ”Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Q.S. Al-Mujahadah:11)
Di samping itu, para penuntut ilmu dijanjikan oleh Rasulullah saw. akan diberikan kemudahan jalan ke surga. Perhatikan hadits di bawah ini:
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا اِلَى الْجَنَّةِ ـ رواه مسلم
Artinya: “Barang siapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).

 c. Teladan Mencari Ilmu
 
Para Ilmuwan atau Ulama dahulu, dalam proses menuntut ilmu memiliki semangat yang kuat sehingga menjadi sosok ilmuwan yang di akui dan memberikan kemaslahatan sampai sekarang. Semangat tersebut patut menjadi teladan bagi kita dalam semangat  mencari ilmu. Berikut ini beberapa kisah menakjubkan tentang kesungguhan para Ulama dalam menuntut ilmu :
1)        Kesabaran dan Kesungguhan Menuntut Ilmu
Ibnu Thahir al-Maqdisy berkata : ”Aku dua kali kencing darah dalam menuntut ilmu hadits, sekali di Baghdad dan sekali di Mekkah. Aku berjalan bertelanjang kaki di panas terik matahari dan tidak berkendaraan dalam menuntut ilmu hadits sambil memanggul kitab-kitab di punggungku”.
2)        Belajar Setiap Hari
Al-Imam an Nawawy setiap hari membaca 12 jenis ilmu yang berbeda (Fiqh, Hadits, Tafsir, dsb..)
3)        Membaca Kitab Sebagai Pengusir Kantuk
Ibnul Jahm membaca kitab jika beliau mengantuk, pada saat yang bukan semestinya. sehingga beliau bisa segar kembali.
4)        Berusaha Mendapatkan Faidah Ilmu Meski Di Kamar Mandi
Majduddin Ibn Taimiyyah (Kakek Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah) jika akan masuk kamar mandi berkata kepada orang yang ada di sekitarnya: “Bacalah kitab ini dengan suara keras agar aku bisa mendengarnya di kamar mandi”.
5)        Kemampuan Membaca Yang Luar Biasa
Ibnul Jauzy  sepanjang hidupnya telah membaca lebih dari 20.000 jilid kitab.
Al-Khothib al-Baghdady membaca Shahih al-Bukhari dalam 3 majelis ( 3 malam), setiap malam mulai ba’da Maghrib hingga Subuh (jeda sholat)
Catatan : Shahih alBukhari terdiri dari 7008 hadits, sehingga rata-rata dalam satu kali majelis (satu malam) dibaca 2336 hadits.
Abdullah bin Sa’id bin Lubbaj al-Umawy dibacakan kepada beliau Shahih Muslim selama seminggu dalam sehari 2 kali pertemuan (pagi dan sore) di masjid Qurtubah Andalus setelah beliau pulang dari Makkah.
6)        Mengulang  Membaca Suatu Kitab Hingga Berkali-Kali
Al-Muzani berkata: ”Aku telah membaca kitab arRisalah (karya asy-Syafi’i) sejak 50 tahun lalu dan setiap kali aku baca aku menemukan faidah yang tidak ditemukan sebelumnya”.
Gholib bin Abdirrahman bin Gholib al-Muhaariby telah membaca Shahih alBukhari sebanyak 700 kali.
7)        Kesungguhan Menulis
Ismail bin Zaid dalam semalam menulis 90 kertas dengan tulisan yang rapi.
Ahmad bin Abdid Da-im al-Maqdisiy telah menulis/menyalin lebih dari 2000 jilid kitab-kitab. Jika senggang, dalam sehari bisa menyelesaikan salinan 9 buku. Jika sibuk dalam sehari menyalin 2 buku.
Ibnu Thahir berkata: ”saya menyalin Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan Sunan Abi Dawud 7 kali dengan upah, dan Sunan Ibn Majah 10 kali”.
Ibnul Jauzy dalam setahun rata-rata menyalin 50-60 jilid buku
8)        Sangat Bersemangat Dalam Mencatat Faidah
 Al-Imam an-Nawawy berkata: “Janganlah sekali-kali seseorang meremehkan suatu faidah (ilmu) yang ia lihat atau dengar. Segeralah ia tulis dan sering-sering mengulang kembali”.
Al-Imam al-Bukhary dalam semalam seringkali terbangun, menyalakan lampu, menulis apa yang teringat dalam benaknya, kemudian beranjak akan tidur, terbangun lagi , dan seterusnya hingga 18 kali.
d. Uswah Hasanah

 


SEMANGAT MENUNTUT ILMU DAN KEPATUHAN KEPADA ORANG TUA
KH. A. WAHID HASYIM
 (MENTERI AGAMA PERTAMA)
Sejak kecil Abdul Wahid sudah masuk Madrasah Tebuireng dan sudah lulus pada usia yang sangat belia, 12 tahun. Selama bersekolah, ia giat mempelajari ilmu-ilmu kesustraan dan budaya Arab secara outodidak. Dia juga mempunyai hobi membaca yang sangat kuat. Dalam sehari, dia membaca minimal lima jam. Dia juga hafal banyak syair Arab yang kemudian disusun menjadi sebuah buku.
Ketika berusia 13 tahun, Abdul Wahid mulai melakukan pengembaraan mencari ilmu. Awalnya ia belajar di Pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo. Di sana ia mondok mulai awal Ramadhan hingga tanggal 25 Ramadhan (hanya 25 hari). Setelah itu pindah ke Pesantren Lirboyo, Kediri, sebuah pesantren yang didirikan oleh KH. Abdul Karim, teman dan sekaligus murid ayahnya. Antara umur 13 dan 15 tahun, pemuda Wahid menjadi Santri Kelana, pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Tahun 1929 dia kembali ke pesantren Tebuireng. Ketika kembali ke Tebuireng, umurnya baru mencapai 15 tahun dan baru mengenal huruf latin. Dengan mengenal huruf latin, semangat belajarnya semakin bertambah. Ia belajar ilmu bumi, bahasa asing, matematika, dll. Dia juga berlangganan koran dan majalah, baik yang berbahasa Indonesia maupun Arab. Pemuda Abdul Wahid mulai belajar Bahasa Belanda ketika berlangganan majalah tiga bahasa, ”Sumber Pengetahuan” Bandung. Tetapi dia hanya mengambil dua bahasa saja, yaitu Bahasa Arab dan Belanda. Setelah itu dia mulai belajar Bahasa Inggris.
Pada tahun 1932, ketika umurnya baru 18 tahun, Abdul Wahid pergi ke tanah suci Mekkah bersama sepupunya, Muhammad Ilyas. Selain menjalankan ibadah haji, mereka berdua juga memperdalam ilmu pengetahuan seperti nahwu, shorof, fiqh, tafsir, dan hadis. Abdul Wahid menetap di tanah suci selama 2 tahun.
Sepulang dari tanah suci, KH. Abdul Wahid (biasa dipanggil KH. Wahid Hasyim) bukan hanya membantu ayahnya mengajar di pesantren, tapi juga terjun ke tengah-tengah masyarakat. Ketika usianya menginjak 20-an tahun, Kiai Wahid mulai membantu ayahnya menyusun kurikulum pesantren, menulis surat balasan dari para ulama atas nama ayahnya dalam Bahasa Arab, mewakili sang ayah dalam berbagai pertemuan dengan para tokoh. Bahkan ketika ayahnya sakit, ia menggantikan membaca kitab Shahih Bukhari, yakni pengajian tahunan yang diikuti oleh para ulama dari berbagai penjuru tanah Jawa dan Madura.
Dengan bekal keilmuan yang cukup, pengalaman yang luas serta wawasan global yang dimilikinya, Kiai Wahid mulai melakukan terobosan-terobosan besar di Tebuireng. Awalnya dia mengusulkan untuk merubah sistem klasikal dengan sistem tutorial, serta memasukkan materi pelajaran umum ke pesantren. Usul ini ditolak oleh ayahnya, karena khawatir akan menimbulkan masalah antar sesama pimpinan pesantren. Namun pada tahun 1935, usulan Kiai Wahid tentang pendirian Madrasah Nidzamiyah, dimana 70% kurikulumnya berisi materi pelajaran umum, diterima oleh sang ayah.
Pada masa setelah Indonesia merdeka, di dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden Sukarno (September 1945), Kiai Wahid ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Sjahrir tahun 1946. Ketika KNIP dibentuk, Wahid Hasyim menjadi salah seorang anggotanya mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota BPKNIP tahun 1946. Setelah terjadi penyerahan kedaulatan RI dan berdirinya RIS, dalam Kabinet Hatta tahun 1950 dia diangkat menjadi Menteri Agama. Jabatan Menteri Agama terus dipercayakan kepadanya selama tiga kali kabinet, yakni Kabinet Hatta, Natsir, dan Kabinet Sukiman.

Rangkuman
  
1.     Menuntut ilmu merupakan kwajiban bagi sitiap muslim, dengan ilmu seseorang akan dapat memenuhi kebutuhan duniawi maupun ukhrawi.
2.    Ilmu bisa deperoleh hanya dengan cara dan etika yang benar serta sabar menghadapi cobaan.
3.    Islam telah memberikan tuntunan menuntun ilmu yang benar sehingga bisa bermanfaat bagi diri sendri dan orang lain.
4.    Ilmu merupakan identitas manusia yang membedakannya dengan makhluk lain
5.  Ilmu tidak bisa diperoleh dengan mudah, dibutuhkan syarat-syarat khusus diantarangan adalah patuh kepada orang tua dan guru agar mendapatkan ilmu yang manfaat dan barakah.
6.  Orang tua dab guru harus dihormati, jika mereka masihi hidup kita harus sopan dan santun serta tidaka mnyakiti hati mereka, jika sudah meninggal arus kita doakan.

7.   Ulama terdahulu telah mencontohkan cara-cara yang dilakukan sehingga memperoleh ilmu yang membawa manfaat bagi kita sampai sekarang.

No comments:

Post a Comment